Mampukah Dirimu Membalasnya?


Bu, itu apa yang kelap kelip diatas..? telunjukku mengarah ke langit. Itu namanya Bintang nak, salah satu ciptaan Allah yang menakjubkan, terang ibu dengan sempurna sekaligus bijak.
Aku ingat usiaku tiga tahun lebih sedikit waktu itu. Usia yang selalu ingin tahu dan mengejar-ngejar seribu jawaban dari segala apa yang aku lihat. Dan ibu dialah yang paling sabar menerangkan semua tanya itu, meski aku tidak pernah puas, tapi aku yakin bahwa ibu tahu segalanya.
Sejak malam itu, aku selalu berdiri dibelakang rumah menengadah ke langit memandangi jutaan bintang yang berkelip-kelip dan setiap saat itu pula ibu selalu setia menemaniku. Aku ingat, ibu cukup kerepotan mencari jawaban ketika ku bertanya, apakah bintang-bintang itu punya nama? dengan cerdik ibu menjelaskan bahwa bintang-bintang itu sama dengan kita, manusia. "kalau manusia punya nama, berarti bintang pun memilikinya", ucap ibu.
"Yang disebelah sana, namanya siapa bu?" Keningnya berkerut otaknya berputar mencari jawaban. Hingga akhirnya, ""Ooh..yang itu ibu tahu, ia adalah bintang ibu, karena namanya sama persis dengan nama anak ibu ini.." Dekapannya begitu hangat, tak ada yang bisa melakukan ini selain ibu. Waktu itu yang kutahu ibu sekedar menjalankan kewajiban sebagai orang tua untuk menemani dan membahagiakanku.
Keesokan harinya, setiap malam tiba, ibu sudah tahu, sebelum waktu tidur tiba, aku selalu mengajaknya memandangi langit. Karena kini aku makin senang sejak ibu mengatakan bahawa bintang yang pernah ku tunjuk itu adalah aku sendiri. Tapi, hari ini ibu membuatku kecewa, karena ia tak bisa menemaniku. "ibu sakit," kata ayah.

Aku menangis, sebab malam itu aku berniat tidak hanya meminta ibu menemaniku seperti malam-malam sebelumnya, tapi aku ingin ibu mengambilkanku bintang-bintang itu dan membawa ke rumah. Aku ingin menjadikannya teman bermain sehingga aku tak perlu bersedih ketika larut ibu mengajak aku tidur.
Tapi ibu tidak dapat membantuku. Jangankan untuk mengambil bintang-bintang, sekedar duduk bersama dibelakang rumah, merasakan sentuhan angin yang lembut, dan menyapa kedamaian malam, serta senyum membalas lambaian sang bulan pun ibu tak kuat. hingga malam itu berakhir, aku masih kecewa. Malam itu bahkan samapi tak mau makan, hingga ibu yang sedang sakit pun harus memaksakan tetap menyenandungkan nyanyian cinta pengantar tidur. Untuk inipun aku tahu adalah juga kewajiban orang tua, menyanyikan lagu pengantar tidur untuk buah hatinya.
Esok harinya aku demam. Karena semalaman tidak mau makan setelah beberapa jam berada dibelakang rumah bermain-main dengan bintang. Meski sedikit cemas ibu tak pernah panik. Sentuhan hangatnya membaluri ramuan khusus ke seluruh tubuh kecil ini. Dua hari sudah tak kunjung sembuh demamku. Padahal ibu sudah membawaku ke dokter.
Ibu semakin cemas. Panasku meninggi dan sering mengigau. Tetapi justru disaat seperti itu ibu tau obat terbaik untuk menyembuhkanku. Sampai disini, aku bernggapan, mencarikan obat, menyembuhkan anak, adalah sekedar kewajiban orang tua.
Aku tak pernah tahu bahwa apa yang ibu perbuat. Setelah terlelap beberapa jam, aku terbangun, dan aku terkejut, hampir tak percaya apa yang kutatap di langit-langit kamar. Bintang-bintang...Ibu membuatkanku bintang-buntang dari kertas berwarna metalik, banyak sekali, puluhan, entah, mungkin ratusan. Sebagian digantung sebagian lagi dibiarkan berserakan ditempat tidur dan lantai kamar.
Peluk cium dari aku untuk ibu karena telah membawakan bintang-bintang dari langit itu kerumah. Dan Ibu benar, aku lihat di masing-masing kertas itu ada namanya, salah satunya ada bintang yang paling bagus dan paling besar, diberinya sesuai namaku.
Anak ibu yang dulu kerap memandangi bintang itu, kini sudah dewasa. Sudah hidup mandiri. Tapi aku masih anak ibu. Suatu saat kutelpon ibu untuk mengabari bahwa aku sedang tidak sehat dan tidak masuk kantor. Beberapa jam kemudian diantar salah seorang adikku, ibu datang. Aku memang tetap bintangnya ibu, dibiarkan kepalaku bersandar dipelukannya kurasakan kehangtannya sampai tertidur.
Sore hari ibu hendak pulang. Sebenarnya aku ingin sekali menahannya untuk tinggal beberapa hari, tapi adikku berbisik, "Waktu abang telpon, Ibu sebenarnya sedang sakit..."
Ada setitik air disudut mata ini. Aku tak tahu apa yang harus ku katakan. Kini, sekali lagi kusadari. Semua yang dilakukan ibu untuk bintang kecilnya ini bukan sekedar kewajiban. Itulah yang disebut cinta, cinta abadi. Cinta yang tak akan pernah bisa aku membalasnya. Dan Ibu adalah bintang sesungguhnya bagiku.

(Bayu Gawtama, Berguru pada kehidupan)
Share on Google Plus

About Maulana

Seorang freelance designer dengan passion blogging dan memberitakan sesuatu yang unik dan edukatif. web: www.pernahwaras.com
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum..
    ngasih "first comment" gpp yach?

    nice story, nice book pasti :p
    walopun sempet "Ada setitik air disudut mata ini" juga..teringat ibu tercinta yang slalu menunggu nan jauh disana..


    Ja Hyo-kun, Keep posting!^_^

    BalasHapus