Alkisah, di suatu desa tinggallah seorang pemuda yang mempunyai keinginan kuat untuk memperdalam ilmu agamanya. Seperti halnya para pemuda sebayanya yang pergi memperdalam ilmu agamanya pada guru-guru terkenal di kota, dari cabang fiqih, hadits, sejarah, aqidah, nahwu, sampai sastra dan berharap sekembalinya dari menuntu ilmu menjadi ulama dan faqih yang terkenal, menyebarkan ajaran agama Islam. Karena itulah, setelah membulatkan tekadnya, sang pemuda meminta izin pada orangtuanya.
Pemuda : “Wahai ayah dan ibu, sungguh besar keinginan putramu ini untuk memperdalam ilmu agama dan menyebarkannya di jalan Allah. Izinkanlah putramu ini untuk pergi menuntut ilmu seperti pemuda-pemuda lainnya di desa ini.”
Kedua orang tua si pemuda diam sesaat. Saling menatap. Lalu sang ayah yang bijaksana berkata.
Ayah : “Anakku, aku memahami dan amat bangga akan niatmu yang tulus ini, tapi aku khawatir kalau aku tak bisa mengijinkanmu untuk pergi ke kota menuntut ilmu agama dan menjadi faqih, anakku.”
Sang anak yang tak mengira jawaban orangtuanya itu akan seperti itu terkejut! Dengan penuh keheranan ia bertanya pada ayahnya.
Pemuda : “Ayah, mengapa ayah melarangku? Apakah ayah tidak rela saya menjadi seorang faqih, menjadi ulama besar yang bisa bermanfaat bagi umat?”
Ayah : “Ayah tidak melarangmu, anakku. Semua adalah pilihanmu sendiri. Tapi sebelum kau memutuskan untuk menjadi seorang faqih, coba keluarlah dari rumah ini sebentar dan kelilinglah engkau di kampung. Setelah itu ceritakanlah apa yang kau lihat. Baru setelah itu aku mungkin akan mengijinkamu.”
Diiringi keheranan yang sangat, akhirnya sang pemuda mengikuti perkataan ayahnya. Ia keluar dari rumahnya dan mengelilingi kampungnya. Mencoba memahami apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh ayahnya. Akan tetapi ia sama sekali tak menemukan jawaban yang dicarinya. Akhirnya si pemuda kembali lagi ke rumah menemui ayahnya yang sedang menunggunya.
Pemuda : “Wahai ayah, aku sudah mengelilingi dan melihat keadaan desa seperti perintahmu. Dan aku sama sekali tidak menemukan ada sesuatu yang aneh. Warga desa hidup damai seperti biasa, tempat-tempat pengajian penuh, masjidpun ramai dengan orang yang sholat. Tua-muda besar kecil semuanya menyembah Allah. Semuanya baik-baik saja, ayah. Sama sekali tidak ada yang aneh.”
Ayah : “Benarkah kau merasa semuanya baik-baik saja, wahai anakku?” Tanya sang ayah.
Pemuda: “Tentu ayah. Saya yakin.” Jawab si Pemuda. “Bukankah ini semua karena penduduk di sini hampir semuanya menuntut ilmu agama dan menjadi orang alim dan faqih sehingga keadaan desa ini begitu damai dan penuh berkah seperti ini, wahai ayah?”
Ayah : “Hmm…., sepertinya engkau tidak memahami apa yang aku maksudkan, anakku.”
Pemuda : “Maksud ayah?” Si Pemuda makin keheranan.
Ayah : “Anakku, benar bahwa penduduk desa ini selama ini hidup dalam kedamaian dan ketaatan pada Allah swt. Anak-anak pergi mengaji setiap pagi dan sore. Masjidpun penuh terisi dan ramai dimakmurkan karena banyak di antara warga kita yang jadi alim ulama. Tapi anakku, tidakkah kau memperhatikan bahwa jalanan di kampong kita ini sudah rusak parah? Bahwa surau dan langgar tempat anak-anak mengaji sudah hampir roboh? Bahkan masjid utamapun gentengnya mulai bocor? Madrasah di kampung kita inipun sudah hampir tak bisa digunakan. Kemampuan ekonomi masyarakatpun pas-pasan dan mereka hidup seadanya. Lalu generasi muda di kampung ini, karena ingin membahagiakan orangtua mereka akhirnya tertarik untuk pergi ke kota mencari penghasilan walau untuk itu mereka menggadaikan keimanan dan taqwanya. Begitu juga remaja putri kampung kita yang karena terayu oleh iklan di televisi mulai menanggalkan hijab mereka?
Pemuda : “……..”
Ayah : “Anakku, aku menghargai niat baikmu untuk menuntut ilmu agama dan menyebarkannya pada umat. Tapi lihatlah keadaan di sekelilingmu. kampong kita sudah punya cukup banyak ustadz dan faqih, yang lebih dibutuhkan oleh kampong kita saat ini adalah seseorang yang bisa menyokong kegiatan pendidikan dan pengajian para ulama dan menjaga generasi muda dari bujuk-rayu perkotaan yang membahayakan keimanan-keislaman mereka. Yang jauh lebih dibutuhkan oleh kampung kita adalah orang yang mempunyai kekuatan ekonomi, juga pengetahuan tentang teknologi yang akan melindungi mereka dari pengaruh buruk globalitas zaman. Ingatlah anakku, rumah terdiri dari berbagai unsur. Jika kau hanya sibuk mempertebal dinding rumah saja, maka bagimana dengan atapnya? Bagaimana dengan pintunya? Bagaimana dengan lantainya? Bagimana dengan jendelanya? Anakku, jika kau ingin beramal dan bermanfaat bagi umat, jalan untuk itu tidak hanya pada satu jalan. Umat mempunyai banyak kebutuhan. Dan demi Allah, mereka yang berusaha membaktikan diri untuk memenuhi tiap-tiap kebutuhan umat itu akan diganjar dan dicintai oleh Allah dan ditempatkan di sisi-Nya.”
Pemuda : “………”
(disadur dari Jangan Menjadi Orang Alim at Kaskus.com )
Alangkah baeknya jika sembari kita mencari ilmu dunia juga menuntut ilmu akhirat. Adalah hal yang bijak jika kita menyeimbangkan kduanya antara ilmu dunia dan akhirat. Karena ilmu adalah sarana untuk manusia berpikir, beribadah dan bersyukur pada Sang Penguasa ilmu Allah SWT,bukankah seorang sarjana yang alim jauh lebih baek daripada seorang sarjana yang dzalim?
BalasHapusJadi untuk blajar kduanya dengan porsi yg sama, knapa tidak?